Kamis, 16 November 2017

Bebaskan Negara dari kepitan Ketiak Globalisme Dan Kapitalisme Global



(Sebuah Persembahan Sumpah Pemuda 28 Oktober, 2017)


Muhammad Alifuddin
 (Aktivis IMM, dan Pemuda Muhammadiyah Kota Bima)

Pertarungan yang tidak seimbang antar negara, akhir-akhir ini tidak lepas dari gagasan globalisasi yang memihak dan keinginan primordial kapitalisme Barat untuk mengakumulasikan the wealth of nations  (kekayaan-kekayaan bangsa-bangsa) di seantero dunia untuk kepentingan their nations (bangsa-bangsa mereka). Skenarionya sederhana, mekanisme pasar bebas membuat mungkin bagi korporasi-korporasi multi nasional untuk merekayasa harga barang dan produksi turun. Salahsatunya jikalau harga gabah turun, petani Indonesia kalang kabut. Akhirnya terpaksa sebagian dari mereka berbondong-bondong mencari profesi lain. Di sini, berbagai Multi National Corporation yang membutuhkan tenaga kerja murah dapat melakukan berbagai kegiatan manufakturnya di Indonesia dengan harga tenaga kerja yang teramat murah. Karena mereka telah memiliki supply calon tenaga kerja yang tidak mempunyai lagi pilihan dan bargaining position. Supply calon tenaga kerja dalam jumlah besar, akan mengikuti hukum kompensasi ala David Ricardo, para tenaga kerja mau tidak mau rela menerima upah yang di bawah KHM (Kebutuhan Hidup Minimal), hidup segan mati tak mau... isu komunisme tidaklah menarik, sebab itulah sebuah peralihan, modus dan alibi yang merubah cara pandang untuk tidak serisu menangani peran kaum kapitalisme global, sosialime (Komunisme) ibaratkan beras, dan kapitalisme adalah nasi yang siap di makan dan di kosumsi

Apakah kita saat ini telah benar-benar merdeka? Dan apakah para penjajah dari Barat yang telah malang melintang menyedot seluruh kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini benar-benar kini telah sadar dan benar-benar secara hakiki menjadi orang yang paling beradab, bahkan menjadi pembela paling gigih dari Hak Azasi Manusia ? Benarkah mereka ingin memperjuangkan liberty, equality dan egality dalam arti yang sesungguhnya?

Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan mudah, secara de jure kita  telah tujuhpuluh dua tahun merdeka. Namun secara de facto, jelas kita belum merdeka untuk menentukan nasib kita sendiri. Apabila  di Jepang untuk proteksi petani dapat dibuat aturan pajak impor  400 % dari harga, kenapa untuk memperoleh pajak impor 30 % dari  harga gula saja kita mesti mengemis-ngemis dulu ke pihak asing?  Bagaimana  pula dengan proteksi harga gabah, untuk kelangsungan kehidupan para petani kita?
Kini ide globalisme dengan proposisi utama globalisasi meniscayakan  ketidakmungkinan kita untuk menolak keterkaitan global, nilai-nilai  global dan kepentingan global telah menjadi suatu hegemoni. Sebuah  hegemoni, menurut Antonio Gramsci, membuat pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui superioritas yang menjajah, dan secara  sukarela membiarkan diri mereka dijajah. Selain itu, malahan hegemoni membuat pihak yang terjajah mati-matian mempertahankan kepentingan para penjajah.
Ada empat serangkai yang menciptakan hegemoni kapitalisme global.  Pertama, korporasi-korporasi raksasa dunia yang kapitalis, paling  tidak demikianlah menurut David C.Korten, dalam When Corporations Rule The World. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Qarun.  Kedua, para penguasa dunia, dalam hal ini adalah  Amerika Serikat  dan beberapa negara Eropa yang terkait. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Firaun. Ketiga, para teknokrat, yakni yang telah merancang berbagai sistem globalisme untuk dan demi kepentingan Barat. Sistem ini mengandung PBB dengan Dewan Keamanannya, yang  sering bertindak sangat tidak adil. Bandingkan misalnya masalah Kashmir yang sudah lima puluh tahun dengan referendum Timor Timur  yang baru lalu. Sistem ini juga mengandung World Bank, IMF, jaringan  bank-bank besar di Barat. Uang-uang yang dikumpulkan melewati para  penindas di seluruh negara dunia ketiga melewati Bank Swiss misalnya, akan dipinjamkan lagi menjadi utang-utang yang mengikat dan akhirnya merampas kemerdekaan bangsa-bangsa dunia ketiga. Demikian juga uang-uang yang dikumpulkan melalui berbagi perusahaan asuransi tingkat dunia. 

Agama (khususnya Islam) telah memperingatkan; haramnya riba. Demikianlah  Tuhan Yang Maha Kasih sebenarnya melindungi ummat dan masyarakat dari penjajahan dan perbudakan dan ketergantungan, yang merupakan sifat hakiki dan akibat langsung dari riba. Hak Kreatifitas Intelektual, -suatu hukum global baru yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994- telah berubah menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang masuk di akal. Tempe telah dipatenkan di Amerika, sehingga bila kita akan mengekspor tempe ke Amerika kita mesti ijin kepada yang memiliki patennya dan membayar hak ciptanya. Demikian pula batik Pekalongan dan karya-karya  seni yang demikian hebat dari Bali, -si Pulau Dewata- yang memiliki kekayaan antropologis tak terhingga. Para teknokrat ini, dalam  simbolisme agama, adalah Haman sang teknokrat. 
Kelengkapan (keempat) dari empat serangkai yang menegakkan hegemoni kapitalisme  global adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Balam, yang merupakan figur ulama yang memihak para penindas. Dikembangkan  secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebhinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi,  dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai  keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi.  Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi, teknologi  modern, -khususnya-, teknologi informasi dan komunikasi menjebol  batas-batas antar negara. Tidak ada lagi kendali pemerintah atas  segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan  serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain dan sesungguhnya segalanya adalah hegemoni.
Teori pertama, bahwa ekonomi global akan dan pasti akan mengatasi  seluruh halangannya, baik halangan politis, geografis dan lain-lain.  Tidak mungkin sama sekali untuk memiliki keragaman ekonomi, dan  berani berbeda dengan ekonomi global. Amerika Serikat dan para  pendukungnya, -melalui WTO-, menekan seluruh negara untuk melakukan  liberalisasi ekonomi. Dan mereka merasa berhak untuk marah besar  kepada Mahathir Mohammad yang menolak menandatangani kebebasan berinvestasi  100 % bagi para investor asing. Salah satu ungkapan yang menjadi  dalil bagi orang para pendukung wacana ini adalah seperti runtuhnya tembok Berlin (Komunis eropa) menunjukkan, kekuatan politik apapun akan tunduk  pada kepentingan ekonomi (global).
Teori kedua, bahwa satu-satunya sistem yang cocok bagi seluruh ummat manusia di dunia adalah sistem pasar bebas. Pasar bebas harus  direalisasikan di seluruh negara. Dipercaya bahwa bila pasar bebas  ini terjadi akan ada tangan-tangan gaib (invisible hands) yang  membuat mekanisme pasar memberikan yang terbaik untuk masyarakat  manusia di dunia. Setidaknya demikianlah konsep pasar bebas kapitalis  yang diilhami oleh The Wealth of Nation dari Adam Smith.
Teori ketiga, teori-teori desentralisasi, deinstitusionalisasi, dan berbagai dugaan-dugaan managerial yang diangkat menjadi satu trend niscaya yang mesti diikuti. Otonomi perguruan tinggi misalnya,  adalah satu dari agenda desentralisasi ini. Dan apakah otonomi perguruan  tinggi, yang juga merupakan permintaan langsung pihak global  pada Indonesia, tidak malah akan mengorbankan modal intelektual  perguruan-perguruan tinggi Indonesia di altar ketergantungan pada  pihak-pihak asing yang tentu siap memberikan dana-bersyarat pada mereka (lihat tulisan Pen. Dalam laman Fb: @Rahman Alif: Konspirasi dalam dunia Pendidikan_Repository.org?).
Keempat serangkai ini, korporasi-korporasi raksasa dunia, para  penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem-sistem perekayasa dunia  (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual)  maupun para intelektual, telah berhasil mendirikan hegemoni global kapitalisme dunia. Hegemoni memiliki pengaruh yang kuat sehingga,  kita bisa melihat berbagai dampaknya dalam fraktal-fraktal kasus-kasus di bawah ini;
Hegemoni budaya,  dengan segala seginya (TV, media massa dll) dapat  dilihat dengan hancurnya budaya-budaya lokal secara amat cepat. Generasi muda kita jauh lebih mengenal Michael Learns To Rock dan  Backstreet Boys, artis dan musisi barat ketimbang syair lagu daerah, kejawean, lagu bali dan NTB, Bima dll, lagu-lagu Pasapu Monca dari bima dan berbagaia syair-syair daerah yang memiliki nilai pendidikan yang amat tinggi, juga pada kebudayaan-kebudayaan daerah kita yang memiliki nilai seni amat tinggi kita meninggalkannya akibat globalisasi. Kaum Muslim Melayu kini lebih akrab dengan tulisan latin dan bahasa Inggris, ketimbang huruf Arab-Melayu (pego) dan bahasa Arab. Gerald Celente, pendiri Trends Research Institute, dalam bukunya Trends 2000 menjelaskan bahwa bahasa Inggris mencapai daya jangkau yang tidak pernah dicapai oleh bahasa apa pun di dunia, dan kenyataan ini memberikan suatu kekuatan budaya yang tidak ternilai bagi bangsa Amerika. 
Hegemoni ras barat terhadap kulit berwarna, yang dapat dilihat dari  banyaknya kasus perbedaan gaji yang luar biasa antara kulit putih maupun orang asing dengan orang Indonesia asli. Kasus PAM Jaya yang  cukup merebak dengan gaji orang-orang asing di sana mencapai angka hampir duaratus juta rupiah sebulan, dan gaji karyawan pribumi Indonesia hanya seperdelapanpuluhnya atau bahkan seperduaratusnya menunjukkan  suatu hal; dalam hegemoni ras Barat, persamaan memiliki arti perbedaan  gaji sampai skala ratusan untuk pekerjaan yang nilai keahliannya hampir sama harus dapat diterima, bila orang Baratlah yang memperoleh gaji ratusan kali orang pribumi Indonesia. 
Dalam upaya pemerintah saat ini untuk mengamankan ekonomi nasional, ada kesan pemerintah lebih fasih untuk melayani kepentingan Hegemoni ekonomi global yang merepresentasikan orang-orang asing ketimbang kepentingan rakyatnya. Kekuatan ekonomi asing ikut campur menentukan kenaikan harga listrik dan BBM. Mereka pun ikut campur dalam proteksi petani, padahal bangsa kita yang kebanyakan adalah petani. Tidak bisakah kita mandiri? Dalam memahami diri kita sendiri? Kekuatan ekonomi kita? Kekuatan sosial budaya kita? Tidakkah kita mesti mencontoh Malaysia dalam hal bagaimana ia dapat mempertahankan dirinya dalam krisis global 1997, yang amat mungkin merupakan strategi kekuatan kapitalisme global (salah satunya Soros) untuk menguasai  seluruh resources di seantero dunia?  
Untuk memahami hegemoni ekonomi global ini, beberapa hal berikut dapat direnungi.  Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Barat selama tiga ratus tahun terakhir ini pada orang-orang Afrika? Selama periode 350 tahun populasi Afrika tetap tidak berkembang dalam jumlah, sedangkan populasi dunia meningkat empat hingga lima kali. Masih terekam dalam kenangan kita, kapal-kapal yang mungkin lebih layak untuk mengangkut binatang yang mengangkut mereka untuk diperbudak di Amerika, 15-20 % diantaranya mati di tengah jalan. Di tambang-tambang mereka mesti bekerja amat  keras, 12 hingga 16 jam sehari, sedangkan yang selain mereka hanya 8 jam sehari. Gerakan anti perbudakan, -mungkin adalah salah satu jasa Abraham Lincoln-, tapi mengapa gerakan ini berhasil? Ketulusan orang-orang Barat untuk mendukung gerakan anti perbudakan hingga sekarang tidak ada lagi? perbudakan kurang dapat diterima, karena momen Revolusi Industri membuat perbudakan tidak lagi efisien. Apakah  perbudakan dihapuskan karena nilai-nilai manusiawi, ataukah demi efisiensi, merupakan suatu hal yang masih dapat diteliti lebih lanjut dalam sejarah. Kenyataan seorang petenis besar Barat memperoleh berbagai masalah karena beristrikan seorang kulit hitam, masih dapat kita lihat dalam kenyataan kontemporer masa kini.
Dalam perang dunia kedua, Perancis menggunakan 200.000 tentara Afrika yang berperang  di pihak Perancis. Sedangkan orang-orang Eropa itu sendiri jarang pergi ke front-front peperangan. Kemakmuran apa yang ditinggalkan oleh orang Eropa dan Amerika dalam era pasca-perbudakan di Afrika?  Data-data (tahun 80-an) menunjukkan, rata-rata penghasilan per kapita di negara maju (seperti Amerika) rata-rata US  $ 4,000, sedangkan di Afrika US $ 140. Kongo misalnya, US$  52, bahkan Chad lebih kecil dari itu. Dalam hal konsumsi: konsumsi besi dan baja  per orang di Amerika adalah 700 kg, sedangkan di Ethiopia, -sebuah negara yang sudah lama berperadaban-, besi dan baja hanya 2 kg per orang. Sepeninggal orang-orang Eropa dan Amerika, Afrika tak lebih adalah dataran tandus yang dipenuhi berbagai wabah dan kelaparan. Tembaga, berlian, emas, batu bara dan minyak Afrika pergi ke Eropa. Produk-produk industri Afrika yang baik dijual di pasar-pasar Eropa. Sesungguhnya kegemerlapan peradaban Amerika dan Eropa berdiri di atas darah orang-orang Afrika (juga Asia dan Amerika Latin).
Apa yang kini terjadi dalam kasus Freeport, telah 1000 trilyun rupiah lebih nilai barang tambang kita, -tanpa sepeserpun dinikmati oleh saudara kita di Irian-, telah diangkut untuk membangun peradaban Barat. Apa yang terjadi di perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga  kerja dibayar amat murah untuk produksi sepatu Nike, tapi dengan  aturan aneh, pabrik tidak boleh menjual langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual dengan harga kira-kira US $ 10 ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan menjualnya ke seluruh dunia dengan harga yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga dua puluh kali lipat). Berapapun keuntungan PT Nike, -juga  Michael Jordan yang memperoleh ratusan milyar bahkan trilyunan untuk mempromosikannya-, para buruh Indonesia di JABOTABEK -hanya sekedar mempertahankan kulitnya menempel di tulang-, menerima gaji yang kurang lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki nilai di bawah Kebutuhan Hidup Minimal. Kini Barat telah memperluas Afrika lama mereka menjadi Afrika, Asia dan Amerika Latin, dan karena Afrika tinggallah menjadi seonggok bangsa yang berebutan hidup di tanah tandus, Asia menjadi pilihan yang paling empuk.
Bagaimana cara orang-orang Barat dan kekuatan hegemoni global menguasai  dan merampas kedaulatan bangsa-bangsa Dunia Ketiga? Negara-negara besar seperti Cina, India, Indonesia, Afrika Barat, Mesir jatuh ke dalam jebakan ekonomi mereka. Statistik pada tahun 80-an menunjukkan utang negara-negara dunia ketiga pada mereka menjapai US $ 700 milyar (kira-kira Rp 5.000 trilyun). Amerika Latin saja mencapai US $  350 milyar. Dengan bunga 10 atau 5 % saja, berapakah mereka mesti  membayar bunga hutang sebesar itu? Sebuah negara seperti Brasil yang memiliki utang lebih dari US $ 80 milyar, mesti membayar US $ 8 milyar sebagai bunga per tahun bila bunganya 10%. Maka kapan negara itu akan bisa berdiri di atas kakinya sendiri?
Pada tahun 1863 Tunisia meminjam 5,5 juta Franc dari perancis. Untuk sebuah kapal perang lama, kapal-kapal dan gaji staf-stafnya Perancis men-charge 3,5 juta Franc. Kapal ini ternyata tidak pernah digunakan, apalagi memberikan manfaat pada rakyat Tunis. Telah dicatat bahwa dalam tujuh tahun, hingga tahun 1870, utang Tunisia mencapai 350 juta Franc. Hasilnya? Tunisia tidak mampu membayar hutang itu. Sebagai konsekuensinya, Italia, Perancis dan Inggris membuat komisi bersama, dan setelah itu mereka ikut campur dalam menangani ekonomi Tunisia sebagai Tunisias economic guardian.
Bagaimana dengan Maroko, dengan 67 million Frank mereka melakukan hal yang sama kepada Maroko. Dicatat pula dalam sejarah, utang Mesir pada saat itu (1863-1876)  berlipat tiga puluh kali. Orang-orang Barat menawarkan proyek-proyek mega yang berteknologi tinggi, yang sering kali tidak sesuai dengan  kebutuhan masyarakat dunia ketiga-. Kemudian mereka menawarkan pinjaman. Dengan sistem riba yang merupakan sifat esensial dari pinjaman ini, mereka menguasai dan mengontrol negara-negara dunia ketiga. Sungguh, sekiranya orang-orang menolak sistem bank dengan riba ini, sebagaimana  perintah Tuhan dalam Islam-, mereka tidak akan terjebak dalam jebakan  ekonomi Barat ini. Bagaimana Soros mulai menanamkan kapitalnya di Australia dan mungkin akan segera diikuti oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia, hal seperti inilah yang diinginkan oleh Barat. Yakni  mengendalikan berbagai sumber kekayaan di seantero dunia, untuk kejayaan ras kulit putih dan lebih spesifik lagi korporasi-korporasi  mereka. Semangat dan spiritnya nampak persis dengan semangat kolonialisme.  Namun kini jauh lebih lembut, tidak kentara dan jauh lebih kejam. Hegemoni global yang telah dibangun, setidaknya saat ini, berhasil dengan gemilang.
Mungkin kita dapat belajar dari kehidupan serangga, Ada sejenis serangga yang besarnya di antara lalat dan lebah. Serangga ini pada saat bertelur mematuk sejenis ulat, sehingga ulat tersebut pingsan. Ulat tersebut dibuat tidak mati, namun hiduppun tidak. Ketika telur-telur ini menetas, anak-anak serangga itu ramai-ramai memakan ulat yang sedang pingsan  tersebut, tanpa merasa dosa sedikitpun, karena mereka tidak mengetahui (tidak melihat sendiri) saat ulat tersebut dipatuk. Ketika anak-anak  serangga itu sudah besar dan mau bertelur, mereka mengulangi siklus yang sama. Benarkah bahwa kapitalisme global itu adalah sang serangga; dan benarkah bahwa kita semua di dunia ketiga adalah ulat yang  dipatuk, yang dibuat hidup segan mati tak mau yakni dipertahankan sebagai mediocre.
Kapitalisme global tidak ingin membunuh Indonesia, karena mereka membutuhkan Indonesia, sebagai sumber berbagai resource dan kemakmuran (baik tambang dan hal-hal alamiah maupun tenaga  kerja murah) dan juga sebagai pasar yang luar biasa yang bisa membeli barang-barang produk mereka. Namun para kapitalis global juga tidak  pernah akan merelakan Indonesia dan negara dunia ketiga menjadi  semakin kuat dan menyaingi mereka: krisis Asia yang terjadi secara amat mendadak dan terasa tidak alamiah mungkin adalah rancangan dari para kapitalis global ini. Tengok pula kasus Jepang yang ditekan oleh Amerika hanya karena ia melakukan proteksi terhadap ekonomi nasionalnya yang menguat terus.
Semoga momen sumpah pemuda 28 Oktober 2017 kita dapat bangkit, dapat memikirkan secara lebih bijak perlunya rumusan yang lebih bernilai kedailan kolektif, bukan malah menggunakan gagasan meraih keuntungan pribadi, mesti diciptkan oleh mereka, dan kita sebagai pemuda untuk tersu mendorong perubahan pada spek ekonomi yang lebih jauh menguntungkan rakyat indonesia, daerah kita tercinta, , yang lebih memperhatikan wacana-wacana globalisme dan globalisasi secara lebih luas dan tidak terjebak pada rancangan-rancangan kekuatan ketamakan global. Proteksi pada pertanian yang membuat kita mandiri dan tidak tergantung sama sekali ke pihak asing dalam hal makanan merupakan hal yang selayaknya dituangkan dalam UUD dan lebih khususnya dalam perumusan Perda yang mestinya ada di Kota dan Kabupaten Bima. Agara tidak terjadi kecurigaan atas ulah para pemimpin hari ini yang melanggengkan kekuasaan dengan para badut yang merauk ke untungan lewat paasar bebas,  selanjutnya perlu juga melakukan proteksi pada kepentingan-kepentingan nasional lain: membuat pasal-pasal yang menjadi fundamen kokoh bagi ekonomi nasional yang memihak pada yang lemah dan tidak membeo pada ideologi hegemoni pasar bebas juga selayaknya dipertimbangkan.
Keberpihakan pada yang lemah yang merupakan spirit masyarakat beragama di Indonesia perlu diwujudkan dalam pasal-pasal yang nyata dan jelas dan tidak ambigu:  % yang jelas bagi anggaran Pendidikan, kesanggupan pemerintah untuk menjamin biaya pendidikan masyarakat sampai tingkat tertentu, proteksi pada sumber-sumber daya alam dengan prioritas pada penduduk setempat, proteksi pada inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat yang benar-benar berdasar pada kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan asing. Kita juga perlu memikirkan secara serius pendistribusian wewenang, sehingga semua hal tidak tertumpu hanya pada presiden. Kompleksitas permasalahan untuk menghadapi kapitalisme global membuat terlalu  riskan menumpukkannya hanya pada presiden.
Apakah kita akan terus menjadi budak-budak sebagaimana budak-budak Afrika dahulu, ataukah merdeka dan dapat hidup layak sebagai bangsa  yang merdeka, tergantung pada kita pemuda, mereka, para wakil yang menerima amanat dari rakyat.  Bila para wakil rakyat dan pemerintah kembali kepada taqwa, menegakkan sistem yang Adil dan berpihak pada para dhu`afa dengan niat lillahi taala, dan kembali pada jati diri masyarakat kita sendiri dalam menentukan berbagai kebijakan, seraya membebaskan  diri dari berhala globalisme, insya Allah, Tuhan akan menolong  bangsa kita dan membimbingnya menuju masyarakat yang adil dan menyempurna. Dalam keadaan yang demikian rumit ini, tidak ada harapan dan daya lain bagi bangsa kita kecuali kembali kepada Allah, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Nya. Niscaya, akan kita temui bahwa Allah-lah sebaik-baik penolong.     


Bima, 29 Oktober 2017
Rahman Alif

2 komentar:

  1. negara kita, alamnya sudah memberikan segala hal untuk kehidupan manusianya tapi akibat dari otak tolol, butah akan keadaan, tuli akan sesuatu yang menjadi harapan bersama, menjadikan dirinya yang paling rakus di negeri ini, dengan cara apapun mereka akan tempuh demi mendapatkan keuntungan pribadi.

    BalasHapus