(Sebuah Persembahan Sumpah Pemuda 28 Oktober, 2017)
Muhammad
Alifuddin
(Aktivis IMM, dan Pemuda Muhammadiyah
Kota Bima)

Apakah kita saat ini telah
benar-benar merdeka? Dan apakah para penjajah dari Barat yang telah malang
melintang menyedot seluruh kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini
benar-benar kini telah sadar dan benar-benar secara hakiki menjadi orang yang
paling beradab, bahkan menjadi pembela paling gigih dari Hak Azasi Manusia ?
Benarkah mereka ingin memperjuangkan liberty, equality dan egality dalam arti
yang sesungguhnya?
Pertanyaan pertama dapat dijawab
dengan mudah, secara de jure kita telah
tujuhpuluh dua tahun merdeka. Namun secara de facto, jelas kita belum merdeka
untuk menentukan nasib kita sendiri. Apabila
di Jepang untuk proteksi petani dapat dibuat aturan pajak impor 400 % dari harga, kenapa untuk memperoleh
pajak impor 30 % dari harga gula saja
kita mesti mengemis-ngemis dulu ke pihak asing?
Bagaimana pula dengan proteksi
harga gabah, untuk kelangsungan kehidupan para petani kita?
Kini ide globalisme dengan proposisi
utama globalisasi meniscayakan
ketidakmungkinan kita untuk menolak keterkaitan global, nilai-nilai global dan kepentingan global telah menjadi
suatu hegemoni. Sebuah hegemoni, menurut
Antonio Gramsci, membuat pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui
superioritas yang menjajah, dan secara
sukarela membiarkan diri mereka dijajah. Selain itu, malahan hegemoni
membuat pihak yang terjajah mati-matian mempertahankan kepentingan para
penjajah.
Ada empat serangkai yang menciptakan
hegemoni kapitalisme global. Pertama,
korporasi-korporasi raksasa dunia yang kapitalis, paling tidak demikianlah menurut David C.Korten,
dalam “When Corporations Rule The World”. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Qarun. Kedua, para penguasa dunia, dalam hal
ini adalah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang terkait. Dalam
simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Firaun. Ketiga, para teknokrat,
yakni yang telah merancang berbagai sistem globalisme untuk dan demi
kepentingan Barat. Sistem ini mengandung PBB dengan Dewan Keamanannya,
yang sering bertindak sangat tidak adil.
Bandingkan misalnya masalah Kashmir yang sudah lima puluh tahun dengan
referendum Timor Timur yang baru lalu.
Sistem ini juga mengandung World Bank, IMF, jaringan bank-bank besar di Barat. Uang-uang yang
dikumpulkan melewati para penindas di
seluruh negara dunia ketiga melewati Bank Swiss misalnya, akan dipinjamkan lagi
menjadi utang-utang yang mengikat dan akhirnya merampas kemerdekaan
bangsa-bangsa dunia ketiga. Demikian juga uang-uang yang dikumpulkan melalui
berbagi perusahaan asuransi tingkat dunia.
Agama (khususnya Islam) telah
memperingatkan; haramnya riba. Demikianlah
Tuhan Yang Maha Kasih sebenarnya melindungi ummat dan masyarakat dari
penjajahan dan perbudakan dan ketergantungan, yang merupakan sifat hakiki dan
akibat langsung dari riba. Hak Kreatifitas Intelektual, -suatu hukum global
baru yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi
APEC di Bogor 1994- telah berubah menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang
masuk di akal. Tempe telah dipatenkan di Amerika, sehingga bila kita akan
mengekspor tempe ke Amerika kita mesti ijin kepada yang memiliki patennya dan
membayar hak ciptanya. Demikian pula batik Pekalongan dan karya-karya seni yang demikian hebat dari Bali, -si Pulau
Dewata- yang memiliki kekayaan antropologis tak terhingga. Para teknokrat ini,
dalam simbolisme agama, adalah Haman
sang teknokrat.
Kelengkapan (keempat) dari
empat serangkai yang menegakkan hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dalam
simbolisme agama ini adalah Bal’am, yang merupakan figur ulama yang
memihak para penindas. Dikembangkan
secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat
yang penuh kebhinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler,
Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara,
dianggap sebagai keniscayaan alamiah
yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi.
Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi, teknologi modern, -khususnya-, teknologi informasi dan
komunikasi menjebol batas-batas antar
negara. Tidak ada lagi kendali pemerintah atas
segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual
mengeluarkan serangkaian teori-teori dan
pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain dan sesungguhnya
segalanya adalah hegemoni.
Teori pertama, bahwa ekonomi global akan dan pasti
akan mengatasi seluruh halangannya, baik
halangan politis, geografis dan lain-lain.
Tidak mungkin sama sekali untuk memiliki ‘keragaman
ekonomi’, dan berani ‘berbeda’ dengan ‘ekonomi
global’. Amerika Serikat dan para
pendukungnya, -melalui WTO-, menekan seluruh negara untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Dan mereka merasa
berhak untuk marah besar kepada Mahathir
Mohammad yang menolak menandatangani kebebasan berinvestasi 100 % bagi para investor asing. Salah satu
ungkapan yang menjadi dalil bagi orang
para pendukung wacana ini adalah seperti runtuhnya tembok Berlin (Komunis
eropa) menunjukkan, kekuatan politik apapun akan tunduk pada kepentingan ekonomi (global).
Teori kedua, bahwa satu-satunya sistem yang
cocok bagi seluruh ummat manusia di dunia adalah sistem pasar bebas. Pasar
bebas harus direalisasikan di seluruh
negara. Dipercaya bahwa bila pasar bebas
ini terjadi akan ada ‘tangan-tangan gaib’ (invisible hands) yang
membuat mekanisme pasar memberikan yang terbaik untuk masyarakat manusia di dunia. Setidaknya demikianlah
konsep pasar bebas kapitalis yang
diilhami oleh ‘The Wealth of Nation’ dari Adam Smith.
Teori ketiga, teori-teori desentralisasi,
deinstitusionalisasi, dan berbagai dugaan-dugaan managerial yang diangkat
menjadi satu trend niscaya yang mesti diikuti. Otonomi perguruan tinggi
misalnya, adalah satu dari agenda
desentralisasi ini. Dan apakah otonomi perguruan tinggi, yang juga merupakan permintaan
langsung pihak ‘global’
pada Indonesia, tidak malah akan mengorbankan ‘modal
intelektual’
perguruan-perguruan tinggi Indonesia di altar ketergantungan pada pihak-pihak asing yang tentu siap memberikan ‘dana-bersyarat’ pada mereka (lihat tulisan Pen.
Dalam laman Fb: @Rahman Alif: Konspirasi dalam dunia Pendidikan_Repository.org?).
Keempat serangkai ini,
korporasi-korporasi raksasa dunia, para
penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem-sistem perekayasa dunia (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak
Kreatifitas Intelektual) maupun para
intelektual, telah berhasil mendirikan hegemoni global kapitalisme dunia.
Hegemoni memiliki pengaruh yang kuat sehingga,
kita bisa melihat berbagai dampaknya dalam fraktal-fraktal kasus-kasus
di bawah ini;
Hegemoni budaya, dengan segala seginya (TV, media massa dll)
dapat dilihat dengan hancurnya
budaya-budaya lokal secara amat cepat. Generasi muda kita jauh lebih mengenal
Michael Learns To Rock dan Backstreet
Boys, artis dan musisi barat ketimbang syair lagu daerah, kejawean, lagu bali
dan NTB, Bima dll, lagu-lagu “Pasapu
Monca”
dari bima dan berbagaia syair-syair daerah yang memiliki nilai pendidikan yang
amat tinggi, juga pada kebudayaan-kebudayaan daerah kita yang memiliki nilai
seni amat tinggi kita meninggalkannya akibat globalisasi. Kaum Muslim Melayu
kini lebih akrab dengan tulisan latin dan bahasa Inggris, ketimbang huruf
Arab-Melayu (pego) dan bahasa Arab. Gerald Celente, pendiri Trends Research
Institute, dalam bukunya ‘Trends 2000’
menjelaskan bahwa bahasa Inggris mencapai daya jangkau yang tidak pernah
dicapai oleh bahasa apa pun di dunia, dan kenyataan ini memberikan suatu
kekuatan budaya yang tidak ternilai bagi bangsa Amerika.
Hegemoni ras barat terhadap kulit
berwarna, yang dapat dilihat dari
banyaknya kasus perbedaan gaji yang luar biasa antara kulit putih maupun
orang asing dengan orang Indonesia asli. Kasus PAM Jaya yang cukup merebak dengan gaji orang-orang asing
di sana mencapai angka hampir duaratus juta rupiah sebulan, dan gaji karyawan
pribumi Indonesia hanya seperdelapanpuluhnya atau bahkan seperduaratusnya
menunjukkan suatu hal; dalam hegemoni
ras Barat, persamaan memiliki arti ‘perbedaan gaji sampai skala ratusan untuk pekerjaan
yang nilai keahliannya hampir sama harus dapat diterima, bila orang Baratlah
yang memperoleh gaji ratusan kali orang pribumi Indonesia’.
Dalam upaya pemerintah saat ini
untuk mengamankan ekonomi nasional, ada kesan pemerintah lebih fasih untuk
melayani kepentingan ‘Hegemoni ekonomi global’ yang merepresentasikan orang-orang asing ketimbang
kepentingan rakyatnya. Kekuatan ekonomi asing ikut campur menentukan kenaikan
harga listrik dan BBM. Mereka pun ikut campur dalam proteksi petani, padahal
bangsa kita yang kebanyakan adalah petani. Tidak bisakah kita mandiri? Dalam
memahami diri kita sendiri? Kekuatan ekonomi kita? Kekuatan sosial budaya kita?
Tidakkah kita mesti mencontoh Malaysia dalam hal bagaimana ia dapat
mempertahankan dirinya dalam krisis global 1997, yang amat mungkin merupakan
strategi kekuatan kapitalisme global (salah satunya Soros) untuk menguasai seluruh ‘resources’ di seantero dunia?
Untuk memahami hegemoni ekonomi
global ini, beberapa hal berikut dapat direnungi. Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang
Barat selama tiga ratus tahun terakhir ini pada orang-orang Afrika? Selama
periode 350 tahun populasi Afrika tetap tidak berkembang dalam jumlah,
sedangkan populasi dunia meningkat empat hingga lima kali. Masih terekam dalam
kenangan kita, kapal-kapal yang mungkin lebih layak untuk mengangkut binatang
yang mengangkut mereka untuk diperbudak di Amerika, 15-20 % diantaranya mati di
tengah jalan. Di tambang-tambang mereka mesti bekerja amat keras, 12 hingga 16 jam sehari, sedangkan
yang selain mereka hanya 8 jam sehari. Gerakan anti perbudakan, -mungkin adalah
salah satu jasa Abraham Lincoln-, tapi mengapa gerakan ini berhasil? Ketulusan
orang-orang Barat untuk mendukung gerakan anti perbudakan hingga sekarang tidak
ada lagi? perbudakan kurang dapat diterima, karena momen Revolusi Industri
membuat perbudakan tidak lagi efisien. Apakah
perbudakan dihapuskan karena nilai-nilai manusiawi, ataukah demi
efisiensi, merupakan suatu hal yang masih dapat diteliti lebih lanjut dalam
sejarah. Kenyataan seorang petenis besar Barat memperoleh berbagai masalah
karena beristrikan seorang kulit hitam, masih dapat kita lihat dalam kenyataan
kontemporer masa kini.
Dalam perang dunia kedua, Perancis
menggunakan 200.000 tentara Afrika yang berperang di pihak Perancis. Sedangkan orang-orang
Eropa itu sendiri jarang pergi ke front-front peperangan. Kemakmuran apa yang
ditinggalkan oleh orang Eropa dan Amerika dalam era pasca-perbudakan di
Afrika? Data-data (tahun 80-an)
menunjukkan, rata-rata penghasilan per kapita di negara ‘maju’ (seperti Amerika) rata-rata US $ 4,000, sedangkan di Afrika US $ 140. Kongo
misalnya, US$ 52, bahkan Chad lebih
kecil dari itu. Dalam hal konsumsi: konsumsi besi dan baja per orang di Amerika adalah 700 kg, sedangkan
di Ethiopia, -sebuah negara yang sudah lama berperadaban-, besi dan baja hanya
2 kg per orang. Sepeninggal orang-orang Eropa dan Amerika, Afrika tak lebih
adalah dataran tandus yang dipenuhi berbagai wabah dan kelaparan. Tembaga,
berlian, emas, batu bara dan minyak Afrika pergi ke Eropa. Produk-produk
industri Afrika yang baik dijual di pasar-pasar Eropa. Sesungguhnya kegemerlapan
peradaban Amerika dan Eropa berdiri di atas darah orang-orang Afrika (juga Asia
dan Amerika Latin).
Apa yang kini terjadi dalam kasus
Freeport, telah 1000 trilyun rupiah lebih nilai barang tambang kita, -tanpa ‘sepeser’pun dinikmati oleh saudara kita di
Irian-, telah diangkut untuk membangun peradaban Barat. Apa yang terjadi di
perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga
kerja dibayar amat murah untuk produksi sepatu Nike, tapi dengan aturan aneh, pabrik tidak boleh menjual
langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual dengan harga kira-kira US $ 10
ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan menjualnya ke seluruh dunia
dengan harga yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga
dua puluh kali lipat). Berapapun keuntungan PT Nike, -juga Michael Jordan yang memperoleh ratusan milyar
bahkan trilyunan untuk mempromosikannya-, para buruh Indonesia di JABOTABEK
-hanya sekedar mempertahankan kulitnya menempel di tulang-, menerima gaji yang kurang
lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki nilai di bawah
Kebutuhan Hidup Minimal. Kini Barat telah memperluas Afrika lama mereka menjadi
Afrika, Asia dan Amerika Latin, dan karena Afrika tinggallah menjadi seonggok
bangsa yang berebutan hidup di tanah tandus, Asia menjadi pilihan yang paling
empuk.
Bagaimana cara orang-orang Barat dan
kekuatan hegemoni global menguasai dan
merampas kedaulatan bangsa-bangsa Dunia Ketiga? Negara-negara besar seperti
Cina, India, Indonesia, Afrika Barat, Mesir jatuh ke dalam jebakan ekonomi mereka.
Statistik pada tahun 80-an menunjukkan utang negara-negara dunia ketiga pada
mereka menjapai US $ 700 milyar (kira-kira Rp 5.000 trilyun). Amerika Latin
saja mencapai US $ 350 milyar. Dengan
bunga 10 atau 5 % saja, berapakah mereka mesti
membayar ‘bunga’ hutang sebesar itu? Sebuah negara
seperti Brasil yang memiliki utang lebih dari US $ 80 milyar, mesti membayar US
$ 8 milyar sebagai bunga per tahun bila bunganya 10%. Maka kapan negara itu
akan bisa berdiri di atas kakinya sendiri?
Pada tahun 1863 Tunisia meminjam 5,5
juta Franc dari perancis. Untuk sebuah kapal perang lama, kapal-kapal dan gaji
staf-stafnya Perancis men-charge 3,5 juta Franc. Kapal ini ternyata tidak
pernah digunakan, apalagi memberikan manfaat pada rakyat Tunis. Telah dicatat bahwa
dalam tujuh tahun, hingga tahun 1870, utang Tunisia mencapai 350 juta Franc.
Hasilnya? Tunisia tidak mampu membayar hutang itu. Sebagai konsekuensinya,
Italia, Perancis dan Inggris membuat komisi bersama, dan setelah itu mereka
ikut campur dalam menangani ekonomi Tunisia sebagai ‘Tunisia’s economic guardian’.
Bagaimana dengan Maroko, dengan 67
million Frank mereka melakukan hal yang sama kepada Maroko. Dicatat pula dalam
sejarah, utang Mesir pada saat itu (1863-1876)
berlipat tiga puluh kali. Orang-orang Barat menawarkan proyek-proyek
mega yang berteknologi tinggi, yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dunia ketiga-. Kemudian
mereka menawarkan pinjaman. Dengan sistem riba yang merupakan sifat esensial
dari pinjaman ini, mereka menguasai dan mengontrol negara-negara dunia ketiga.
Sungguh, sekiranya orang-orang menolak sistem bank dengan riba ini,
sebagaimana perintah Tuhan dalam Islam-,
mereka tidak akan terjebak dalam jebakan
ekonomi Barat ini. Bagaimana Soros mulai menanamkan kapitalnya di
Australia dan mungkin akan segera diikuti oleh berbagai perusahaan lain di
Indonesia, hal seperti inilah yang diinginkan oleh Barat. Yakni mengendalikan berbagai sumber kekayaan di
seantero dunia, untuk kejayaan ras kulit putih dan lebih spesifik lagi
korporasi-korporasi mereka. Semangat dan
spiritnya nampak persis dengan semangat kolonialisme. Namun kini jauh lebih lembut, tidak kentara
dan jauh lebih kejam. Hegemoni global yang telah dibangun, setidaknya saat ini,
berhasil dengan gemilang.
Mungkin kita dapat belajar dari
kehidupan serangga, Ada sejenis serangga yang besarnya di antara lalat dan
lebah. Serangga ini pada saat bertelur mematuk sejenis ulat, sehingga ulat
tersebut pingsan. Ulat tersebut dibuat tidak mati, namun hiduppun tidak. Ketika
telur-telur ini menetas, anak-anak serangga itu ramai-ramai memakan ulat yang
sedang pingsan tersebut, tanpa merasa
dosa sedikitpun, karena mereka tidak mengetahui (tidak melihat sendiri) saat
ulat tersebut dipatuk. Ketika anak-anak
serangga itu sudah besar dan mau bertelur, mereka mengulangi siklus yang
sama. Benarkah bahwa kapitalisme global itu adalah sang serangga; dan benarkah
bahwa kita semua di dunia ketiga adalah ulat yang dipatuk, yang dibuat hidup segan mati tak mau
yakni dipertahankan sebagai mediocre.
Kapitalisme global tidak ingin
membunuh Indonesia, karena mereka membutuhkan Indonesia, sebagai sumber
berbagai resource dan kemakmuran (baik tambang dan hal-hal alamiah maupun
tenaga kerja murah) dan juga sebagai
pasar yang luar biasa yang bisa membeli barang-barang produk mereka. Namun para
kapitalis global juga tidak pernah akan
merelakan Indonesia dan negara dunia ketiga menjadi semakin kuat dan menyaingi mereka: krisis
Asia yang terjadi secara amat mendadak dan terasa tidak alamiah mungkin adalah
rancangan dari para kapitalis global ini. Tengok pula kasus Jepang yang ditekan
oleh Amerika hanya karena ia melakukan proteksi terhadap ekonomi nasionalnya
yang menguat terus.
Semoga momen sumpah pemuda 28
Oktober 2017 kita dapat bangkit, dapat memikirkan secara lebih bijak perlunya rumusan
yang lebih bernilai kedailan kolektif, bukan malah menggunakan gagasan meraih
keuntungan pribadi, mesti diciptkan oleh mereka, dan kita sebagai pemuda untuk
tersu mendorong perubahan pada spek ekonomi yang lebih jauh menguntungkan
rakyat indonesia, daerah kita tercinta, , yang lebih memperhatikan
wacana-wacana globalisme dan globalisasi secara lebih luas dan tidak terjebak
pada rancangan-rancangan kekuatan ketamakan global. Proteksi pada pertanian
yang membuat kita mandiri dan tidak tergantung sama sekali ke pihak asing dalam
hal makanan merupakan hal yang selayaknya dituangkan dalam UUD dan lebih
khususnya dalam perumusan Perda yang mestinya ada di Kota dan Kabupaten Bima.
Agara tidak terjadi kecurigaan atas ulah para pemimpin hari ini yang
melanggengkan kekuasaan dengan para badut yang merauk ke untungan lewat paasar
bebas, selanjutnya perlu juga melakukan
proteksi pada kepentingan-kepentingan nasional lain: membuat pasal-pasal yang
menjadi fundamen kokoh bagi ekonomi nasional yang memihak pada yang lemah dan
tidak membeo pada ideologi hegemoni pasar bebas juga selayaknya
dipertimbangkan.
Keberpihakan pada yang lemah yang
merupakan spirit masyarakat beragama di Indonesia perlu diwujudkan dalam
pasal-pasal yang nyata dan jelas dan tidak ambigu: % yang jelas bagi anggaran Pendidikan,
kesanggupan pemerintah untuk menjamin biaya pendidikan masyarakat sampai
tingkat tertentu, proteksi pada sumber-sumber daya alam dengan prioritas pada
penduduk setempat, proteksi pada inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat
yang benar-benar berdasar pada kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan
asing. Kita juga perlu memikirkan secara serius pendistribusian wewenang,
sehingga semua hal tidak tertumpu hanya pada presiden. Kompleksitas
permasalahan untuk menghadapi kapitalisme global membuat terlalu riskan menumpukkannya hanya pada presiden.
Apakah kita akan terus menjadi ‘budak-budak’ sebagaimana budak-budak Afrika
dahulu, ataukah merdeka dan dapat hidup layak sebagai bangsa yang merdeka, tergantung pada kita pemuda,
mereka, para wakil yang menerima amanat dari rakyat. Bila para wakil rakyat dan pemerintah kembali
kepada taqwa, menegakkan sistem yang Adil dan berpihak pada para dhu`afa dengan
niat lillahi ta’ala, dan kembali pada jati diri masyarakat kita sendiri
dalam menentukan berbagai kebijakan, seraya membebaskan diri dari berhala globalisme, insya Allah,
Tuhan akan menolong bangsa kita dan
membimbingnya menuju masyarakat yang adil dan menyempurna. Dalam keadaan yang
demikian rumit ini, tidak ada harapan dan daya lain bagi bangsa kita kecuali
kembali kepada Allah, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Nya. Niscaya,
akan kita temui bahwa Allah-lah sebaik-baik penolong.
Bima,
29 Oktober 2017
Rahman
Alif
negara kita, alamnya sudah memberikan segala hal untuk kehidupan manusianya tapi akibat dari otak tolol, butah akan keadaan, tuli akan sesuatu yang menjadi harapan bersama, menjadikan dirinya yang paling rakus di negeri ini, dengan cara apapun mereka akan tempuh demi mendapatkan keuntungan pribadi.
BalasHapusGood
Hapus