AGAMA
DAN ILMU
Menawarkan
Konsep Integralistik pada Dunia Islam
Oleh: Muh. Alifuddin
Pendahuluan
Melacak kembali Peradaban Islam

Dalam sejarah Islam telah
menorehkan tinta emas dalam kehidupan umat manusia. Dan kedatangan Islam dengan
konsep rahmatan lil ‘alamin, sehingga yang sampai saat ini masih dalam
kesatuan sistem yang tidak terpisahkan. Realitas spiritual dan metahistorikal
yang mentransformasi kehidupan lahir dan batin dari beragam manusia di dalam
situasi temporal maupun ruang yang berbeda. Dan secara historis Islam telah
memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan beberapa aspek pada
peradaban dunia.
Pada aspek keilmuan dan teknologi
Islam mengalami masa kejayaan dimasa ini. Munculnya para ilmuwan, filosof dan
cendekiawan Muslim telah mewarnai penorehan tinta sejarah dunia yang samapai
hari ini masih kita gunakan hasil dari peradaban islam mas itu. Dan kita
ketahui Islam bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang
mereka pelajari dari buku-buku Yunani, akan tetapi menambahkan ke dalam hasil
penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan sains dan filsafat oleh
tokoh-tokoh besar islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits Muhammad Saw.
Kita akan coba melihat beberapa
cendekiawan islam yang melahirkan banyak teori-teori yang dipakai sepanjang
sejarah, Tokoh cendekiawan Muslim yang terkenal adalah Muhammad bin Musa
al-Khawarizmi ilmuan matematikawan yangtelah menelurkan aljabar dan algoritma,
al-Fazari dan al-Farghani sebagai ahli astronomi (abad ke VIII), Abu Ali
al-Hasan ibnu al-Haytam dengan teorioptika (abad X), Jabir ibnu Hayyan dan Abu
Bakar Zakaria ar-Razi sebagai tokoh kimia yang disegani (abad IX), Abu Raihan
Muhammad al-Baituni sebagai ahli fisika (abad IX), Ibnu Sina sebagai seorang
dokter sekaligus seorang filsuf yang sangat berpengaruh (akhir abad IX), Abu
al-Hasan Ali Mas’ud sebagai tokoh geografi (abad X), Ibnu Rusyd sebagai seorang
filsuf ternama dan terkenal di dunia filsafat Barat dengan Averroisme, dan juga
al-Farabi yang juga seorang filsuf Muslim.
Selain sains dan filsafat pada masa
ini juga bermunculan ulama besar tentang keagamaan dalam Islam, seperti Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal,
serta mufassir terkenal ath-Thabari, sejarawan Ibnu Hisyam dan Ibnu Sa’ad.
Masih adalagi yang bergerak dalam ilmu kalam dan teologi, seperti Washil
bin Atha’, Ibnu al-Huzail, al-Allaf, Abu al-Hasan al-Asyari, al-Maturidi,
bahkan tokoh tasawuf dan mistisisme seperti, Zunnun al-Misri, Abu Yazid
al-Bustami, Husain bin Mansur al-Hallaj, dan sebagainya. Di dunia sastra pun
mengenalkan Abu al-Farraj al-Asfahani, dan al-Jasyiari yang terkenal melalui
karyanya 1001 malam, yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia yang
kemudian diterjemahkan oleh ilmuan-ilmuan seluruh dunia dan menjadikannya satu
displin ilmu yang kita pelajari hari ini.
Mengambil Hikmah dari Perjuangan Islam
lebih dari 14 abad lamanya
Sekian lamanya Islam melakukan penyebaran ajarannya, Tentunya dari masa
perjuangan tersebut telah menorehkan banyak hasil yang dapat dirasakan oleh
dunia saat ini walaupun sudah tidak ada lagi kekuasaan Islam yang mutlak.
Karena Islam dalam ekspansinya, tidak hanya mengambil keuntungan materi dari
daerah yang dapat dikuasai, melainkan bersama membangun dan memajukan peradaban
yang ada dan tetap toleran terhadap budaya lokal dan ini merukana sikap Rahmatan Lil Aalamiin sebagai sebuah
Agama pencerahan.
Para tokoh Islam klasik yang telah membangun peradaban di masa
itu, dan tidak dilakukan oleh orang-orang barat pada masa kegelapan, adalah
dengan mempelajari dan mempertahankan peradaban yunani kuno, serta
mengembangkan buah pemikirannya untuk menemukan sesuatu yang baru dari segi
filsafat dan ilmu pengetahuan. Seorang pemikir orientalis barat Gustave Lebon,
dan telah diterjemahkan oleh Samsul Munir Amin, mengatakan bahwa “(Orang Arablah) Yang Menyebabkan Kita
Mempunyai Peradaban, Karena Mereka Adalah Imam Kita Selama Enam Abad”.
Hingga peradaban Islam telah memberi kontribusi
besar dalam berbagai bidang khususnya bagi dunia Barat yang saat ini diyakini
sebagai pusat peradaban dunia. Kontribusi besar tersebut antara lain :
1.
Sepanjang abad ke-12 dan sebagian abad ke-13,
karya-karya kaum Muslim dalam bidang filsafat, sains, dan sebagainya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, khususnya dari Spanyol. Penerjemahan ini
sungguh telah memperkaya kurikulum pendidikan dunia Barat.
2.
Kaum muslimin telah memberi sumbangan eksperimental
mengenai metode dan teori sains ke dunia Barat.
3.
Sistem notasi dan desimal Arab dalam waktu yang sama telah
dikenalkan ke dunia barat.
4.
Karya-karya dalam bentuk terjemahan, kususnya karya
Ibnu Sina (Avicenna) dalam bidang kedokteran, digunakan sebagai teks di lembaga
pendidikan tinggi sampai pertengahan abad ke-17 M.
5.
Para ilmuwan muslim dengan berbagai karyanya telah
merangsang kebangkitan Eropa, memperkaya dengan kebudayaan Romawi kuno serta
literatur klasik yang pada gilirannya melahirkan Renaisance.
6.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah didirikan
jauh sebelum Eropa bangkit dalam bentuk ratusan madrasah adalah pendahulu
universitas yang ada di Eropa.
7.
Para ilmuwan muslim berhasil melestarikan pemikiran dan
tradisi ilmiah Romawi-Persi (Greco Helenistic) sewaktu Eropa dalam kegelapan.
8.
Sarjana-sarjana Eropa belajar di berbagai lembaga
pendidikan tinggi Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat.
9.
Para ilmuwan Muslim telah menyumbangkan pengetahuan
tentang rumah sakit, sanitasi, dan makanan kepada Eropa.
Pada kondisi ini, terutama pada abad ke-11
dan ke-12, walaupun tradisi Islam yang diboyong ke Barat masih belum terjadi
pemisahan yang jelas antara ilmu-ilmu yang ada dan ketika itu ilmu kalam,
filsafat, tasawuf, ilmu alam, matematika, dan ilmu kedokteran masih bercampur.
Akan tetapi Islam telah mampu mendamaikan akal dengan iman dan filsafat dengan
agama. Bahkan pada masa itu Barat masih terdapat stereotipe yang memisahkan antara akal dan iman serta filsafat dan
agama. Hal ini juga terjadi pada ilmu pengetahuan dan ilmu alam, yang mana Islam
telah berjasa menyatukan akal dengan alam, menetapkan kemandirian akal,
menetapkan keberadaan hukum alam yang pasti, dan keserasian Tuhan dengan alam.
Hingga akhirnya filsafat skolastik Barat
mencapai puncaknya yang telah didukung oleh adanya pilar Islam dengan
dibangunnya akademi-akademi di Eropa yang diadopsi dari gaya akademi di kawasan
Timur. Hal ini merupakan evolusi dari illuminisme biara ke kegiatan pemikiran
yang dialihkan kesekolahan dan akademi. Dan kurikulum yang diajarkan adalah
filsafat lama, dan ilmu-ilmu Islam terutama Averoisme Paris.
Pada saat yang sama terjadi perubahan
kecenderungan pemikiran dari kesenian dan kasusatraan ke gramatika dan logika,
dari retorika ke filsafat dan pemikiran, dan dari paganisme kesusastraan Latin
ke penyucian Tuhan sebagai pemikiran Islam.
Demikianlah sumbangan besar Islam atas
peradaban dunia Barat, yang selanjutnya jusru dijadikan sebagai pusat peradaban
dunia pada saat ini. Hal ini dikarenakan kekonsistensian dunia Barat dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bahkan karya-karya besar para
ilmuwan Muslim tersebut hingga kini masih dapat kita temukan di
perpustakaan-perpustakaan internasional, khususnya di Amerika, yang secara
profesional dan rapi telah menyimpannya. Sehingga para umat Muslim di masa
kini, yang ingin mempelajari lebih banyak tentang khasanah Islam tersebut,
harus pergi ke negara Barat (non Islam) agar dapat meminta kembali “permata”
yang sementara ini telah mereka pinjam.
Menawarkan
Integralistik untuk Islam
Sejak awal abad ke 21, para ilmuan barat
Diskursus tentang hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan modern sudah
berlangsung cukup lama. Berawal dari pidato Ernest Renan di Sorbone Paris
tahu 1883 tentang Islam sebagai agama yang anti ilmu. Hal ini menimbulkan reaksi
dari berbagai intelektual dan cendekiawan islam, seakan agama dalam keadaan
sekarat dan semakin gugp menghadapi segala gagasan keilmuan barat, Jamaludin Al
Afghani dengan seruan kesadarn kolektif sebagai umat Islam.
Diskursus semakin komplek pada paruh abad ke
21, tidak hanya hubungan Islam dengan ilmu tapi juga kaitan antara Islam dengan
keseluruhan pengetahuan modern beserta pekakas metodelogis dan premis-premis
yang membentuknya. Perkembangan ini berimplikasi pada perubahan secara mendasar
pandangan dunia Islam. Gagasan sains Islam dari Ziauddin Sardar dan juga
pemikiran tentang Islamisasi pengetahuan Naquib al Attas yang kemudia diusung Isma’il
Raji Al-Faruqi, juga pemikir ilam Armahedi Mahzar, Prof. Amin Abdullah pada
dasarnya berintikan sebagai upaya mengembalikan pengetahuan pada asal muasalnya
yakni kepada agama, keimanan dan lebih khusus lagi pada Tauhid.
Pemikiran Kuntowijoyo tentang Islam sebagai
ilmu berkaitan kuat dengan ijtihad dari para intektual pendahulunya. Namun
Kuntowijoyo tidak mau terhanyut dalam euphoria respon yang cenderung bersifat
reaktif. Berangkat dari keprihatinan atas sifat reaktif dari gagasan Islamisasi
pengetahuan, Kuntowijoyo menawarkan suatu penyikapan yang baru melihat hubungan
antara agama (Islam) dan ilmu.
Para ilmuwan pada abad sebelumnya memang
mengklasifikasi ilmu dalam berbagai macam jenis dan mengklarifikasikan dalam
berbagai disiplin ilmu, mislakna Ibn Khaldun membuat klasifikasi ilmu dalam dua
jenis ilmu pokok: naqliyah dan ‘aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang
erat kaitannya dengan wahyu, dan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang berdasarkan akal
dan Rasio Manusia. Menurut Khaldun yang termasuk ilmu naqliyah adalah:
al-Qur’an, hadis, fiqh, kalam, tasawuf dan bahasa; sedangkan yang termasuk ilmu
aqliyah adalah: filsafat, kedokteran, pertanian, geometri, astronomi dst.
Tetapi klasifikasi ilmu tersebut menurut Azyumardi Azra (Perta, 2002:16) bukan
dimaksud mendikotomi ilmu antara satu dengan yang lain, tatapi hanya sekadar
klasifikasi untuk mempermudahkan kita dalam mempelajarinya. Klasifikasi
tersebut menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalam peradaban Islam.
Dalam konteks ini ilmu agama Islam merupakan salah sau saja dari berbagai
cabang ilmu secara keseluruhan. Jadi persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non
agama”, tetapi lebih kepada “kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut digunakan
(karena ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan).
Dan apalagi jika kita sepakat bahwa pada
dasarnya sumber ilmu itu dari Tuhan. Dengan demikian terminologi “ilmu agama”
dan “ilmu umum”, “non agama” adalah peristilahan sehari-hari dalam pengertian
sempit saja. Hanya memang, pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa
sebagai seorang Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan
ibadah mahdhah itu, misalnya ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan
seterusnya, yang ilmu tersebut sering disebut ilmu syar’iah (fiqh); dan ilmu
tentang ketuhanan/ (keimanan kepada Allah SWT), yang biasa disebut sebagai ilmu
tauhid (kalam). Ilmu-ilmu inipun sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan kritis
tampak sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini
disebut “ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam.
Karena semua sistem peribadatan (al-’ibadah,
worship) didalam Islam mengandung dimensi ajaran yang tidak lepas dari hubungan
antara Allah SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam sebagai
yang dicipta (al-makhluq). Dan hubungan ini dalam al-Qur’an disebut sebagai
hablun min Allah wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan hubungan
horizontal. Di sini rukun iman dalam ajaran Islam lebih berorientasi pada
hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang rukun Islam
lebih berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia dengan manusia yang
lain ataupun alam semesta. Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat
dipisahkan tak ubahnya seperti hubungan ilmu dan amal (integral)
Dalam perspektif sejarah, pengadilan inquisi yang dialami oleh baik Copernicus
(1543), Bruno (1600) maupun Galileo (1633) oleh geraja karena pendapatnya yang
bertolak belakang dengan agama, telah mempengaruhi proses perkembangan berpikir
di Eropa, yang pada dasarnya ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang
keilmuan yang berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam
sebagaimana adanya (das sein) dengan semboyan: “ilmu yang bebas nilai”. Setelah
pertarungan + 250 tahun, atau yang dikenal dengan gerakan renaissance (abad 15)
dan aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat
itulah filsafat Barat menjadi sangat antrosopentris, terbebas dari ikatan agama
dan sistem nilai. Di saat inilah terjadinya benih “sekularisasi” di dunia
Barat. Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu”
kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak
mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir yang ilmiah.
Oleh sebab itu saatnya kini kita tidak perlu
mengulang lagi sejarah kelabu pertentangan antara ilmu dan agama (ilmuwan dan
agamawan) yang akan melahirkan sekularisasi. Harus ada sinergi dan integrasi
antara ilmu dan agama. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara
dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurut Jujun (1986: 4) hanya akan
mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan
mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada
zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya penulis berkeyakinan, bahwa
kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan
teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma
integralisme dan desekularisasi tadi.
Lebih dari itu dalam era modern dan
globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama Islam pada wilayah
praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi paling
berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya. Berpadunya aspek idealisme dan realisme atau
rasionalisme dan empirisme dalam paradigma keilmuan Islam perlu dikembangkan.
Karena menurut pengamatan Amin Abdullah (1992:16), selama ini ruang lingkup
filsafat Islam lebih cenderung menitikberatkan pada aspek ontologis dan
aksiologis ketimbang epistemologisnya. Dan epistemologi yang dibangunnya
memenangkan epistemologi Plato/ Platonisme yang rasionalistik-normatif seperti
yang nampak dalam dominasi kalam dan sufisme, katimbang empirisme-historis
Aristoteles. Kini saatnya kita harus membangun kultur akademik dan keilmuan
yang inklusif dan inovatif serta mengorientasikan pada kehidupan yang bersifat
praksis. Di sinilah perlunya mata kuliah Filsafat Ilmu bagi pengembangan teori
keilmuan dan wawasan berpikir akademik-substansial
Bima, 06 Maret 2017
Sekretariat IMM Cabang Bima
Muhammad Alifuddin
Sumber Kajian:
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,......
Armahedi Mahzar, Integralisme Islam Meluruskan Paradigma
Sains dan Filsafat Islam
Amin Abdullah, Integralisme-Interkoneksi-Keilmuan.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar