Senin, 06 Maret 2017

AGAMA DAN ILMU Menawarkan Konsep Integralistik pada Dunia Islam Oleh: Muh. Alifuddin



AGAMA DAN ILMU
Menawarkan Konsep Integralistik pada Dunia Islam

Oleh: Muh. Alifuddin

Pendahuluan

Melacak kembali Peradaban Islam

Islam yang hadir di tengah kerasnya peradaban jahiliyah, melalui Kenabian Muhammad saw, dengan berbagai bentuk syariat yang membentuk peradaban ilmu dan kedamaian dunia, Islam mampu menyatukan berbagaia etnis, suku dan budaya, bahkan pada konsepsi Ketuhan, dengan Ilmu dan Pengajaran yang berkhidmat mampu mengantarkan islam sebagai Agama yang besar dan Islam mampu bermetamorfosa menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Setelah masa kenabian, yang kemudian perjuangan islam dilanjutkan oleh para sahabat khulafau-r-rasyidin dan juga pada masa dinasti-dinasti Islam yang muncul sesudahnya. Dan telah berhasil membangun peradaban islam dan pada kekuatan politik, budaya, Ilmu yang menandingi dinasti besar lainnya pada masa itu, yakni Bizantium dan Persia.
Dalam sejarah Islam telah menorehkan tinta emas dalam kehidupan umat manusia. Dan kedatangan Islam dengan konsep rahmatan lil ‘alamin, sehingga yang sampai saat ini masih dalam kesatuan sistem yang tidak terpisahkan. Realitas spiritual dan metahistorikal yang mentransformasi kehidupan lahir dan batin dari beragam manusia di dalam situasi temporal maupun ruang yang berbeda. Dan secara historis Islam telah memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan beberapa aspek pada peradaban dunia.

Pada aspek keilmuan dan teknologi Islam mengalami masa kejayaan dimasa ini. Munculnya para ilmuwan, filosof dan cendekiawan Muslim telah mewarnai penorehan tinta sejarah dunia yang samapai hari ini masih kita gunakan hasil dari peradaban islam mas itu. Dan kita ketahui Islam bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, akan tetapi menambahkan ke dalam hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan sains dan filsafat oleh tokoh-tokoh besar islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits Muhammad Saw.
Kita akan coba melihat beberapa cendekiawan islam yang melahirkan banyak teori-teori yang dipakai sepanjang sejarah, Tokoh cendekiawan Muslim yang terkenal adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi ilmuan matematikawan yangtelah menelurkan aljabar dan algoritma, al-Fazari dan al-Farghani sebagai ahli astronomi (abad ke VIII), Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haytam dengan teorioptika (abad X), Jabir ibnu Hayyan dan Abu Bakar Zakaria ar-Razi sebagai tokoh kimia yang disegani (abad IX), Abu Raihan Muhammad al-Baituni sebagai ahli fisika (abad IX), Ibnu Sina sebagai seorang dokter sekaligus seorang filsuf yang sangat berpengaruh (akhir abad IX), Abu al-Hasan Ali Mas’ud sebagai tokoh geografi (abad X), Ibnu Rusyd sebagai seorang filsuf ternama dan terkenal di dunia filsafat Barat dengan Averroisme, dan juga al-Farabi yang juga seorang filsuf Muslim.
Selain sains dan filsafat pada masa ini juga bermunculan ulama besar tentang keagamaan dalam Islam, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, serta mufassir terkenal ath-Thabari, sejarawan Ibnu Hisyam dan Ibnu Sa’ad. Masih adalagi yang bergerak dalam ilmu kalam dan teologi, seperti Washil bin Atha’, Ibnu al-Huzail, al-Allaf, Abu al-Hasan al-Asyari, al-Maturidi, bahkan tokoh tasawuf dan mistisisme seperti, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Husain bin Mansur al-Hallaj, dan sebagainya. Di dunia sastra pun mengenalkan Abu al-Farraj al-Asfahani, dan al-Jasyiari yang terkenal melalui karyanya 1001 malam, yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia yang kemudian diterjemahkan oleh ilmuan-ilmuan seluruh dunia dan menjadikannya satu displin ilmu yang kita pelajari hari ini.
Mengambil Hikmah dari Perjuangan Islam
lebih dari 14 abad  lamanya Sekian lamanya Islam melakukan penyebaran ajarannya, Tentunya dari masa perjuangan tersebut telah menorehkan banyak hasil yang dapat dirasakan oleh dunia saat ini walaupun sudah tidak ada lagi kekuasaan Islam yang mutlak. Karena Islam dalam ekspansinya, tidak hanya mengambil keuntungan materi dari daerah yang dapat dikuasai, melainkan bersama membangun dan memajukan peradaban yang ada dan tetap toleran terhadap budaya lokal dan ini merukana sikap Rahmatan Lil Aalamiin sebagai sebuah Agama pencerahan.
Para tokoh Islam klasik yang telah membangun peradaban di masa itu, dan tidak dilakukan oleh orang-orang barat pada masa kegelapan, adalah dengan mempelajari dan mempertahankan peradaban yunani kuno, serta mengembangkan buah pemikirannya untuk menemukan sesuatu yang baru dari segi filsafat dan ilmu pengetahuan. Seorang pemikir orientalis barat Gustave Lebon, dan telah diterjemahkan oleh Samsul Munir Amin, mengatakan bahwa “(Orang Arablah) Yang Menyebabkan Kita Mempunyai Peradaban, Karena Mereka Adalah Imam Kita Selama Enam Abad”.
Hingga peradaban Islam telah memberi kontribusi besar dalam berbagai bidang khususnya bagi dunia Barat yang saat ini diyakini sebagai pusat peradaban dunia. Kontribusi besar tersebut antara lain :
1.        Sepanjang abad ke-12 dan sebagian abad ke-13, karya-karya kaum Muslim dalam bidang filsafat, sains, dan sebagainya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, khususnya dari Spanyol. Penerjemahan ini sungguh telah memperkaya kurikulum pendidikan dunia Barat.
2.        Kaum muslimin telah memberi sumbangan eksperimental mengenai metode dan teori sains ke dunia Barat.
3.        Sistem notasi dan desimal Arab dalam waktu yang sama telah dikenalkan ke dunia barat.
4.        Karya-karya dalam bentuk terjemahan, kususnya karya Ibnu Sina (Avicenna) dalam bidang kedokteran, digunakan sebagai teks di lembaga pendidikan tinggi sampai pertengahan abad ke-17 M.
5.        Para ilmuwan muslim dengan berbagai karyanya telah merangsang kebangkitan Eropa, memperkaya dengan kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang pada gilirannya melahirkan Renaisance.
6.        Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah didirikan jauh sebelum Eropa bangkit dalam bentuk ratusan madrasah adalah pendahulu universitas yang ada di Eropa.
7.        Para ilmuwan muslim berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi-Persi (Greco Helenistic) sewaktu Eropa dalam kegelapan.
8.        Sarjana-sarjana Eropa belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat.
9.        Para ilmuwan Muslim telah menyumbangkan pengetahuan tentang rumah sakit, sanitasi, dan makanan kepada Eropa.
Pada kondisi ini, terutama pada abad ke-11 dan ke-12, walaupun tradisi Islam yang diboyong ke Barat masih belum terjadi pemisahan yang jelas antara ilmu-ilmu yang ada dan ketika itu ilmu kalam, filsafat, tasawuf, ilmu alam, matematika, dan ilmu kedokteran masih bercampur. Akan tetapi Islam telah mampu mendamaikan akal dengan iman dan filsafat dengan agama. Bahkan pada masa itu Barat masih terdapat stereotipe yang memisahkan antara akal dan iman serta filsafat dan agama. Hal ini juga terjadi pada ilmu pengetahuan dan ilmu alam, yang mana Islam telah berjasa menyatukan akal dengan alam, menetapkan kemandirian akal, menetapkan keberadaan hukum alam yang pasti, dan keserasian Tuhan dengan alam.
Hingga akhirnya filsafat skolastik Barat mencapai puncaknya yang telah didukung oleh adanya pilar Islam dengan dibangunnya akademi-akademi di Eropa yang diadopsi dari gaya akademi di kawasan Timur. Hal ini merupakan evolusi dari illuminisme biara ke kegiatan pemikiran yang dialihkan kesekolahan dan akademi. Dan kurikulum yang diajarkan adalah filsafat lama, dan ilmu-ilmu Islam terutama Averoisme Paris.
Pada saat yang sama terjadi perubahan kecenderungan pemikiran dari kesenian dan kasusatraan ke gramatika dan logika, dari retorika ke filsafat dan pemikiran, dan dari paganisme kesusastraan Latin ke penyucian Tuhan sebagai pemikiran Islam.
Demikianlah sumbangan besar Islam atas peradaban dunia Barat, yang selanjutnya jusru dijadikan sebagai pusat peradaban dunia pada saat ini. Hal ini dikarenakan kekonsistensian dunia Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bahkan karya-karya besar para ilmuwan Muslim tersebut hingga kini masih dapat kita temukan di perpustakaan-perpustakaan internasional, khususnya di Amerika, yang secara profesional dan rapi telah menyimpannya. Sehingga para umat Muslim di masa kini, yang ingin mempelajari lebih banyak tentang khasanah Islam tersebut, harus pergi ke negara Barat (non Islam) agar dapat meminta kembali “permata” yang sementara ini telah mereka pinjam.
Menawarkan Integralistik untuk Islam
Sejak awal abad ke 21, para ilmuan barat Diskursus tentang hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan modern sudah berlangsung cukup lama. Berawal dari pidato  Ernest Renan di Sorbone Paris tahu 1883 tentang Islam sebagai agama yang anti ilmu. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai intelektual dan cendekiawan islam, seakan agama dalam keadaan sekarat dan semakin gugp menghadapi segala gagasan keilmuan barat, Jamaludin Al Afghani dengan seruan kesadarn kolektif sebagai umat Islam.
Diskursus semakin komplek pada paruh abad ke 21, tidak hanya hubungan Islam dengan ilmu tapi juga kaitan antara Islam dengan keseluruhan pengetahuan modern beserta pekakas metodelogis dan premis-premis yang membentuknya. Perkembangan ini berimplikasi pada perubahan secara mendasar pandangan dunia Islam. Gagasan sains Islam dari Ziauddin Sardar dan juga pemikiran tentang Islamisasi pengetahuan Naquib al Attas yang kemudia diusung Isma’il Raji Al-Faruqi, juga pemikir ilam Armahedi Mahzar, Prof. Amin Abdullah pada dasarnya berintikan sebagai upaya mengembalikan pengetahuan pada asal muasalnya yakni kepada agama, keimanan dan lebih khusus lagi pada Tauhid.
Pemikiran Kuntowijoyo tentang Islam sebagai ilmu berkaitan kuat dengan ijtihad dari para intektual pendahulunya. Namun Kuntowijoyo tidak mau terhanyut dalam euphoria respon yang cenderung bersifat reaktif. Berangkat dari keprihatinan atas sifat reaktif dari gagasan Islamisasi pengetahuan, Kuntowijoyo menawarkan suatu penyikapan yang baru melihat hubungan antara agama (Islam) dan ilmu.
Para ilmuwan pada abad sebelumnya memang mengklasifikasi ilmu dalam berbagai macam jenis dan mengklarifikasikan dalam berbagai disiplin ilmu, mislakna Ibn Khaldun membuat klasifikasi ilmu dalam dua jenis ilmu pokok: naqliyah dan ‘aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang erat kaitannya dengan wahyu, dan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang berdasarkan akal dan Rasio Manusia. Menurut Khaldun yang termasuk ilmu naqliyah adalah: al-Qur’an, hadis, fiqh, kalam, tasawuf dan bahasa; sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: filsafat, kedokteran, pertanian, geometri, astronomi dst. Tetapi klasifikasi ilmu tersebut menurut Azyumardi Azra (Perta, 2002:16) bukan dimaksud mendikotomi ilmu antara satu dengan yang lain, tatapi hanya sekadar klasifikasi untuk mempermudahkan kita dalam mempelajarinya. Klasifikasi tersebut menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalam peradaban Islam. Dalam konteks ini ilmu agama Islam merupakan salah sau saja dari berbagai cabang ilmu secara keseluruhan. Jadi persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tetapi lebih kepada “kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut digunakan (karena ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan).
Dan apalagi jika kita sepakat bahwa pada dasarnya sumber ilmu itu dari Tuhan. Dengan demikian terminologi “ilmu agama” dan “ilmu umum”, “non agama” adalah peristilahan sehari-hari dalam pengertian sempit saja. Hanya memang, pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa sebagai seorang Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan ibadah mahdhah itu, misalnya ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, yang ilmu tersebut sering disebut ilmu syar’iah (fiqh); dan ilmu tentang ketuhanan/ (keimanan kepada Allah SWT), yang biasa disebut sebagai ilmu tauhid (kalam). Ilmu-ilmu inipun sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan kritis tampak sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini disebut “ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam.
Karena semua sistem peribadatan (al-’ibadah, worship) didalam Islam mengandung dimensi ajaran yang tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam sebagai yang dicipta (al-makhluq). Dan hubungan ini dalam al-Qur’an disebut sebagai hablun min Allah wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan hubungan horizontal.  Di sini rukun iman dalam ajaran Islam lebih berorientasi pada hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang rukun Islam lebih berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia dengan manusia yang lain ataupun alam semesta. Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat dipisahkan tak ubahnya seperti hubungan ilmu dan amal (integral)
          Dalam perspektif sejarah, pengadilan inquisi yang dialami oleh baik Copernicus (1543), Bruno (1600) maupun Galileo (1633) oleh geraja karena pendapatnya yang bertolak belakang dengan agama, telah mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan yang berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya (das sein) dengan semboyan: “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan + 250 tahun, atau yang dikenal dengan gerakan renaissance (abad 15) dan aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat itulah filsafat Barat menjadi sangat antrosopentris, terbebas dari ikatan agama dan sistem nilai. Di saat inilah  terjadinya benih “sekularisasi” di dunia Barat. Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir yang ilmiah.
Oleh sebab itu saatnya kini kita tidak perlu mengulang lagi sejarah kelabu pertentangan antara ilmu dan agama (ilmuwan dan agamawan) yang akan melahirkan sekularisasi. Harus ada sinergi dan integrasi antara ilmu dan agama. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurut Jujun (1986: 4) hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya penulis berkeyakinan, bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma integralisme dan desekularisasi tadi.
Lebih dari itu dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya. Berpadunya aspek idealisme dan realisme atau rasionalisme dan empirisme dalam paradigma keilmuan Islam perlu dikembangkan. Karena menurut pengamatan Amin Abdullah (1992:16), selama ini ruang lingkup filsafat Islam lebih cenderung menitikberatkan pada aspek ontologis dan aksiologis ketimbang epistemologisnya. Dan epistemologi yang dibangunnya memenangkan epistemologi Plato/ Platonisme yang rasionalistik-normatif seperti yang nampak dalam dominasi kalam dan sufisme, katimbang empirisme-historis Aristoteles. Kini saatnya kita harus membangun kultur akademik dan keilmuan yang inklusif dan inovatif serta mengorientasikan pada kehidupan yang bersifat praksis. Di sinilah perlunya mata kuliah Filsafat Ilmu bagi pengembangan teori keilmuan dan wawasan berpikir akademik-substansial



Bima, 06 Maret 2017
Sekretariat IMM Cabang Bima

Muhammad Alifuddin



Sumber Kajian:
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,......
Armahedi Mahzar, Integralisme Islam Meluruskan Paradigma Sains dan Filsafat Islam
Amin Abdullah, Integralisme-Interkoneksi-Keilmuan.....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar