Merindukan ‘Sang
Guru Bangsa”
Oleh “
fahrul akbar
Ditengah
gencarnya arus modernisasi, globalisasi,
transformasi budaya, ilmu,
teknologi serta materialisme
pragmatis serta banyaknya problem
kebangsaan yang semakin
memprihatinkan kini mengakibatkan keadaan masa depan bangsa kian mencekam,
mulai dari kasus korupsi, teroris,
kemiskinan, kejahatan merajalela, perzinahan, konflik horizontal, kegagalan penegak hukum dengan tumbuh
suburnya mafia peradilan yang menjadikan bangsa kita masih dalam status mendesak untuk diselamatkan, dibelahan dunia pendidikan pun tak luput dari terjangan badai cobaan dan rintangan, negara
ini seakan kehilangan semangat tuk melangkah lebih baik, kadang banyak
kalangan yang pesimis dengan masa depan pendidikan di negeri ini, kadang ada pihak
yang optimis dengan masa depan bangsa
ini sehingga dengan keadaan seperti
ini dimanakah peran seorang guru bangsa,
selaku pendidik, pengayom, pelindung
dan pejuang masyarakat, apalagi justru para mafia dan koruptor lahir dari kalangan kaum terdidik, seakan-akan
pendidikan memanusiakn manusia telah bergeser pada munculnya tipologi mengejar habis materialis pragmatis, demi
meraih obsesinya itu maka harga diri bangsa trgadaikan dan
dipertaruhkan, pendidikan yang merupakan wilayah pembinaan masyarakat bernurani justru
perzinahan marak terjadi diruang kelas, kantin dan lain-lain, gempuran
modernisasi, kebarat-baratan menjadikan generasi kehilangan jati diri makanya
kita saksikan murid dan putra harapan bangsa sekarang ini lebih
percaya diri berdiri telanjang diatas panggung pendidikan, ironis, dan telah banyak putra-putra terbaik kita
mati bunuh diri ditengah gencarnya revolusi tatanan dunia kita, kemudian bergerombolan putra harapan
bangsa kita berbondong-bondong memenuhi penjara dan bui, sesungguhnya ada
apa dengan pendidikan kita.
Kita
merindukan sosok guru bangsa yang seperti sosok ibu muslimah dalam
teatrikal novel laskar pelangi
karya Andre Hirata yang menginspirasi siswanya
untuk bisa mencintai hidup dengan menghargai harapan dan mimpi itu, bukankah bangsa kita sudah sangat
kesakitan dan membutuhkan penawar tuk
menyembuhkan regenerasi kita dari kepunahan.
Pendidikan
sebagai basis pencerahan harus menghadapi
perlawanan baru dari Progresifitas modernisme yang datang menjerat
idealisme pendidikan dalam cengkraman liberalisasi dan pasar bebas dalam segala
aspek kehidupan, akhirnya mengarahkan tujuan pendidikan pada hal-hal instan
yakni adanya komersialisasi pendidikan untuk “kegiatan bisnis dan komoditas’
yang hanya berorientasi pada tujuan capital
dan ekonomi.
Usaha-usaha yang menunjukan kepentingan meraih keuntungan modal
semata dan mengabaikan hakikat
pendidikan untuk membangun dan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia dan
berkarakter, sehingga pendidikan seperti
ini justru menjerumuskan dirinya
pada kehancuran ,
Lalu Fenomena
komersialisasi pendidikan berdampak pada lahirnya dikotomik pendidikan secara fundamental,
sekolah yang berkualitas semakin mahal, sedangkan bagi yang miskin hanya mendapatkan sekolah yang standar
sehingga muncul adigium dalam bukunya eko patrio “ orang miskin dilarang sekolah”
karena fenomenanya memang fakta adanya, adapun sekolah gratis kadang menjadi sangat populis bagi kalangan tidak mampu
memberi harapan akses kepada dunia pendidikan.
Belum lagi pemerintah hanya menempatkan aspek pendidikan
sebagai prioritas belanja negara pada nomor bucit. Kalah dengan negara-negra
tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunai, Cina dan Vietnam yang Komunis, pendidikan memperoleh pembiayan yang layak ( Menurut hasil amandemen
UUD 1945 minimal 20% anggaran
pendapatan Belanja Negara) dan Ternyata Hanya Mendapatkan Pembiayaan
kurang dari 5% belum lagi korupsi
dilingkungan Depertemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) tuk membiayai pendidikan untuk membiayai isi perut oknum pejabat.
Dari polemik
pendidikan itulah keberadan para guru
menjadi poros yang menentukan
suksesnya dunia pendidikan, segudang permasalah harus dihadapi oleh para
guru dalam rangka mencerdaskan anak bangsa serta upaya pemerintah dalam
mendukung kembangkan kapasitas guru dengan lahirnya -‘Undang Undang Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 serta Sisidiknas No 20
tahun 2003. Persoalan yang
paling mendasar adalah bagaimana Guru kemudian berkapasitas untuk mengembangkan
misi pencerahan, dengan memperhatikan kondisi bangsa yang suram dipenuhi para koruptor, kemkasiatan, sex
bebas, kriminalitas dll yang mengindikasikan gagalnya strutur pendidikan membentuk manusia yang utuh, ada PR besar tentang krisisnya figural peran yang diberikan oleh
para guru dalam transformasi sosial, seakan negeri ini mengalami kekeringan tokoh bangsa yang mengedepankan pengabdian pada pencapaian ketulusan
membangun khazanah intelektual para
guru, selalu saja jika ada kegagalan
UAN, konflik horizontal guru
selalu menjadi tumbal dan dituduh tidak
amanah dan bertanggung jawab dalam mensukseskan
anak didik. Krisis kepercayaan dan menurunnya citra guru dimata publik
akibat menyebarnya paham materialisme, hedonisme, pragmatisme dikalangan
pelajar menempatkan sang guru tidak
memiliki tempat yang kuat dan melekat sehingga penulis mencoba untuk
menggambarkan perjuangan para guru
dimedan pendidikan yakni :
Dengan
hadirnya guru bangsa untuk memperjuangkan anak bangsa, meski mereka berasal dari
keluarga miskin yang terbuang dan ditelantarkan, yang mungkin hari ini berkembang paradigma bahwa disekolah
pinggiran, miskin, terbelakang, tidak akan ditemukan guru-guru terbaik alumni
dari perguruan tinggi terkemuka, sekolah miskin terpinggirkan mungkin hanya terlintas sosok guru miskin
sahaja yang kendaraannya sepeda ontel, papannya menggunakan kapur serta genteng gentengnya bocor, anak
sekolah yang serba terbatas datang
kesekolah dengan pakaian apa adanya, bahkan tidak memakai sepatu, beralaskan
lantai tanah - sempit sekaligus sumpek, namun diluar dugaan dan imej yang
berkembang justru ’malaikat yang menjelma jadi guru’ hadir untuk menjamu dan mendidik anak manusia yang serba
terbatas, pengabdian yang tulus dan ikhlas menjadi kekuatan lembut yang
menjadikan para murid percaya diri, terhormat dan merasa sebagai anak negeri
yang berhak dan mendapatkan pendidikan layaknya orang lain, idealisme seorang guru mengalahkan
penampakan dan kehampaan materialisme, kadang para guru tidak memiliki
gaji yang besar, pakaian atau
jabatan tinggi lebih-lebih
kendaraan super mewah ada juga yang berjalan kaki sepanjang hari yang sangat melelahkan
kesekolah demi panggilan jiwa, kemudian sosok guru sahaja yang mampu menggunakan segala keterbatasan itu menjadi alat dan bahan untuk digunakan
mengoptimalkan pendidikan yang serba-
arif , bijak dan santun jauh dari
otoritanisme dan diskriminasi, dengan orientasi memberi segalanya kepada mutridnya
telah mengeluarkan ia pada jeratatan mengharapkan segalanya, kesederhanaan memperteguh
ikatan batin sang guru dengan anak
didiknya untuk memelihara keyakinan dan harapan.
Menyatukan kasih sayang ilmu
iman bermmuara cinta para murid, dengan mengajarkan pada murid menyukuri segalanya bahkan menanamkan optimisme dalam setiap kondisi. Yang
berbeda dengan kondisi sekolah hari ini, pendidikan yang serba berorientasi pada bagaimana mencapai tujuan insan melupakan proses interaksi manusiawi. Karena Guru
sejati adalah guru yang mengajar dan
mendidik murid dengan sepenuh hati dan ihlas, tidak pernah bosan dan surut
walau halang melintang dihadapnnya demi keyakinan besar dan jiwa besar
mengntarkan generasi bangsa mencapi masa depan yang cerah, kebahgiaan dunia dan
akhirat. kadang
banyak para murid merasa dirinya bos karena kebetulan lahir dari keluarga
konglomerat, pejabat atau profesi lainnya
yang menggagap guru hanya
semata-mata pelayan pengajaran, sedikit saja dicubit gurunya dengan represif orang tua murid mengadili
bahkan mempolisikan para guru, hingga
ada yang dilecehkan, di aniaya bahkan dipenjara seperti berbagai macam kasus
yang terjadi akhir-akhir ini di kota dan kabupaten Bima.
Belum lagi sinetron-sinetron tv yang
menggambarkan kondisi percintaan remaja yang miskin nilai-nilai pendidikan
serta demokrasi liberal yang berimbas pada keterlibatan pelaku
pendidikan dalam politik praktis semata
untuk memuaskan nafsu penghambaan pada kekuasaan menjadikan guru mengendalikan saham politik,
pendukung politik yang pada
akhirnya berimbas pada struktur dan culture pendidikan yang seharusnya netral
dari politik telah terjerat dan terjebak pada jurang kehancuran, anak
didik jadi korban pembususkan dan
konspirasi hormonal, hukuman tanpa sebab
jelas dilimpahkan kepada kepala sekolah yang bertentangan dengan penguasa misalnya
dimutasi kepelosok akibat sanksi/dendam politik, karena pendidikan kita semakin
termarjinalkan dan kehilangan etos kerja serta kepercayaan diri jadinya ia
mudah dikomersialisasikan ala kapitalis, mudah dipermainkan dan dinodai oleh
perangkat sinetron yang menyesatkan serta, menjadi tumbal politik pragmatis semata sungguh ironis, maka
saatnyalah guru bangkit dari ketidakberdayaan untuk mewujudkan tujuan suci
pembelajaran, menginspirasi lebih
banyak kebaikan dan keteledanan bagi pencerahan bangsa dan negara, Setiap guru
adalah pahlawan bagi murid-muridnya, pahlawan yang tidak boleh ditindas dan
ditelantarkan lebih-lebih dilupakan, Met berjuang para guru bangsa
pahlawan-pahlawan harapan dan kebanggaan
umat dan negara , Allahu Akbar, fastabiqul khairat !!
Penulis Adalah Guru SD Muhammadiyah Kota Bima,
PC Rasanae Barat Pemuda Muhammadiyah Kota Bima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar