Senin, 23 Mei 2016

Merindukan ‘Sang Guru Bangsa”



Merindukan  ‘Sang  Guru Bangsa”

Oleh “ fahrul akbar

Ditengah gencarnya arus  modernisasi, globalisasi, transformasi budaya, ilmu,  teknologi  serta materialisme pragmatis serta  banyaknya problem kebangsaan  yang semakin memprihatinkan  kini mengakibatkan  keadaan masa depan bangsa kian mencekam, mulai dari kasus korupsi,  teroris, kemiskinan, kejahatan merajalela, perzinahan, konflik horizontal,  kegagalan penegak hukum dengan tumbuh suburnya mafia peradilan yang menjadikan bangsa kita  masih dalam status  mendesak untuk diselamatkan,  dibelahan dunia  pendidikan pun tak luput dari  terjangan badai cobaan dan rintangan, negara ini seakan kehilangan  semangat  tuk melangkah lebih baik, kadang banyak kalangan  yang pesimis dengan masa depan  pendidikan di negeri ini, kadang ada pihak yang optimis  dengan masa depan bangsa ini sehingga   dengan keadaan seperti ini  dimanakah peran seorang guru bangsa, selaku pendidik, pengayom,   pelindung dan pejuang masyarakat,  apalagi justru  para mafia dan koruptor  lahir dari kalangan kaum terdidik, seakan-akan pendidikan memanusiakn manusia telah bergeser pada  munculnya tipologi  mengejar habis materialis pragmatis, demi meraih  obsesinya itu  maka harga diri bangsa trgadaikan dan dipertaruhkan, pendidikan  yang merupakan  wilayah pembinaan masyarakat bernurani justru perzinahan marak terjadi diruang kelas, kantin dan lain-lain, gempuran modernisasi, kebarat-baratan menjadikan generasi kehilangan jati diri makanya kita saksikan  murid dan putra  harapan bangsa sekarang  ini lebih  percaya diri berdiri telanjang diatas panggung pendidikan, ironis,  dan telah banyak putra-putra terbaik kita mati bunuh diri ditengah gencarnya revolusi tatanan dunia kita,  kemudian bergerombolan putra harapan bangsa  kita berbondong-bondong  memenuhi penjara dan bui, sesungguhnya ada apa dengan pendidikan kita.


Kita merindukan sosok guru bangsa yang seperti sosok ibu muslimah dalam teatrikal novel laskar pelangi karya  Andre Hirata  yang menginspirasi  siswanya  untuk bisa mencintai hidup dengan menghargai  harapan dan mimpi itu,  bukankah bangsa kita sudah sangat kesakitan  dan membutuhkan penawar tuk menyembuhkan regenerasi kita dari kepunahan.  

Pendidikan sebagai basis pencerahan harus menghadapi  perlawanan baru dari Progresifitas modernisme yang datang menjerat idealisme pendidikan dalam cengkraman liberalisasi dan pasar bebas dalam segala aspek kehidupan, akhirnya mengarahkan tujuan pendidikan pada hal-hal instan yakni adanya komersialisasi pendidikan untuk “kegiatan  bisnis dan komoditas’ yang hanya berorientasi pada  tujuan capital dan ekonomi. 

Usaha-usaha yang menunjukan kepentingan meraih keuntungan modal semata dan mengabaikan  hakikat pendidikan untuk membangun dan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia dan berkarakter, sehingga pendidikan seperti  ini justru menjerumuskan dirinya  pada kehancuran ,
Lalu Fenomena komersialisasi pendidikan berdampak pada lahirnya  dikotomik pendidikan secara fundamental, sekolah yang berkualitas semakin mahal, sedangkan bagi yang miskin  hanya mendapatkan sekolah yang standar sehingga muncul adigium dalam bukunya eko patrio “ orang miskin dilarang sekolah” karena fenomenanya memang fakta adanya, adapun sekolah gratis  kadang menjadi     sangat populis bagi kalangan tidak mampu memberi harapan akses kepada dunia pendidikan.  

Belum lagi pemerintah hanya   menempatkan aspek  pendidikan  sebagai  prioritas belanja negara  pada nomor bucit. Kalah dengan negara-negra tetangga seperti Malaysia,  Singapura, Brunai,  Cina dan Vietnam yang Komunis, pendidikan  memperoleh pembiayan  yang layak ( Menurut hasil  amandemen  UUD 1945 minimal 20% anggaran  pendapatan Belanja Negara) dan Ternyata Hanya Mendapatkan Pembiayaan kurang dari 5%  belum lagi korupsi dilingkungan Depertemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) tuk membiayai pendidikan   untuk membiayai isi perut oknum pejabat.

Dari polemik pendidikan itulah keberadan para guru  menjadi poros yang menentukan  suksesnya dunia pendidikan, segudang permasalah harus dihadapi oleh para guru dalam rangka mencerdaskan anak bangsa serta upaya pemerintah dalam mendukung kembangkan kapasitas guru dengan lahirnya -‘Undang Undang Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 serta Sisidiknas No 20 tahun 2003. Persoalan  yang paling  mendasar adalah bagaimana Guru  kemudian berkapasitas untuk mengembangkan misi pencerahan, dengan memperhatikan kondisi bangsa yang suram  dipenuhi para koruptor, kemkasiatan, sex bebas, kriminalitas dll yang mengindikasikan gagalnya  strutur pendidikan membentuk manusia  yang utuh, ada PR besar tentang  krisisnya figural peran yang diberikan oleh para guru dalam transformasi sosial, seakan negeri ini mengalami  kekeringan tokoh bangsa yang mengedepankan  pengabdian pada pencapaian ketulusan membangun  khazanah intelektual para guru, selalu saja jika ada kegagalan  UAN, konflik horizontal  guru selalu menjadi tumbal dan dituduh  tidak amanah dan bertanggung jawab dalam mensukseskan  anak didik. Krisis kepercayaan dan menurunnya citra guru dimata publik akibat menyebarnya paham materialisme, hedonisme, pragmatisme dikalangan pelajar menempatkan sang  guru tidak memiliki tempat yang kuat dan melekat sehingga penulis mencoba untuk menggambarkan perjuangan para  guru dimedan pendidikan yakni :
Dengan hadirnya guru bangsa untuk memperjuangkan anak bangsa, meski mereka berasal dari keluarga miskin yang terbuang dan ditelantarkan, yang mungkin hari ini  berkembang paradigma bahwa disekolah pinggiran, miskin, terbelakang, tidak akan ditemukan guru-guru terbaik alumni dari perguruan tinggi terkemuka, sekolah miskin terpinggirkan mungkin hanya  terlintas sosok  guru miskin  sahaja yang kendaraannya sepeda ontel, papannya menggunakan  kapur serta genteng gentengnya bocor, anak sekolah yang serba terbatas  datang kesekolah dengan pakaian apa adanya, bahkan tidak memakai sepatu, beralaskan lantai tanah - sempit sekaligus sumpek, namun diluar dugaan dan imej yang berkembang justru ’malaikat yang menjelma jadi guru’ hadir untuk menjamu  dan mendidik anak manusia yang serba terbatas, pengabdian yang tulus dan ikhlas menjadi kekuatan lembut yang menjadikan para murid percaya diri, terhormat dan merasa sebagai anak negeri yang berhak dan mendapatkan  pendidikan layaknya  orang lain, idealisme seorang guru mengalahkan penampakan dan kehampaan materialisme, kadang para guru tidak memiliki gaji  yang besar, pakaian atau jabatan  tinggi  lebih-lebih  kendaraan super mewah ada juga yang   berjalan kaki sepanjang hari yang sangat melelahkan kesekolah demi panggilan  jiwa,  kemudian  sosok guru sahaja  yang mampu menggunakan segala keterbatasan  itu menjadi alat dan bahan untuk digunakan mengoptimalkan pendidikan  yang serba- arif , bijak dan santun  jauh dari otoritanisme dan diskriminasi, dengan orientasi memberi segalanya kepada mutridnya telah mengeluarkan ia pada jeratatan mengharapkan segalanya, kesederhanaan memperteguh ikatan batin sang guru dengan  anak didiknya untuk memelihara keyakinan dan harapan. 

Menyatukan kasih sayang ilmu iman bermmuara cinta para murid, dengan mengajarkan pada murid menyukuri  segalanya bahkan  menanamkan optimisme dalam setiap kondisi. Yang berbeda dengan kondisi sekolah hari ini, pendidikan  yang serba berorientasi  pada bagaimana mencapai tujuan  insan melupakan  proses interaksi manusiawi. Karena Guru sejati adalah guru yang mengajar  dan mendidik murid dengan sepenuh hati dan ihlas, tidak pernah bosan dan surut walau halang melintang dihadapnnya demi keyakinan besar dan jiwa besar mengntarkan generasi bangsa mencapi masa depan yang cerah, kebahgiaan dunia dan akhirat. kadang banyak para murid  merasa dirinya  bos karena kebetulan lahir dari keluarga konglomerat, pejabat atau profesi lainnya  yang menggagap guru  hanya semata-mata pelayan pengajaran, sedikit saja dicubit gurunya  dengan represif orang tua murid mengadili bahkan mempolisikan para guru,  hingga ada yang dilecehkan, di aniaya bahkan dipenjara seperti berbagai macam kasus yang terjadi akhir-akhir ini di kota dan kabupaten Bima.

Belum lagi sinetron-sinetron tv yang menggambarkan  kondisi percintaan  remaja yang miskin nilai-nilai  pendidikan  serta demokrasi liberal yang berimbas pada keterlibatan pelaku pendidikan  dalam politik praktis semata untuk memuaskan nafsu penghambaan pada kekuasaan   menjadikan guru mengendalikan saham politik, pendukung  politik yang pada akhirnya  berimbas pada struktur  dan culture pendidikan yang seharusnya  netral  dari politik telah terjerat dan terjebak pada jurang kehancuran, anak didik jadi  korban pembususkan dan konspirasi hormonal,  hukuman tanpa sebab jelas dilimpahkan kepada kepala sekolah  yang bertentangan dengan penguasa misalnya dimutasi kepelosok akibat sanksi/dendam politik, karena pendidikan kita semakin termarjinalkan dan kehilangan etos kerja serta kepercayaan diri jadinya ia mudah dikomersialisasikan ala kapitalis, mudah dipermainkan dan dinodai oleh perangkat sinetron yang menyesatkan serta, menjadi tumbal politik  pragmatis semata sungguh ironis, maka saatnyalah guru bangkit dari ketidakberdayaan untuk mewujudkan tujuan suci pembelajaran, menginspirasi   lebih banyak kebaikan dan keteledanan bagi pencerahan bangsa dan negara, Setiap guru adalah pahlawan bagi murid-muridnya, pahlawan yang tidak boleh ditindas dan ditelantarkan lebih-lebih dilupakan,  Met berjuang para guru bangsa pahlawan-pahlawan  harapan dan kebanggaan umat dan negara , Allahu Akbar, fastabiqul khairat !!

Penulis Adalah Guru SD Muhammadiyah Kota Bima, PC Rasanae Barat Pemuda Muhammadiyah Kota Bima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar